Ali Wahyudin
Seorang yang sedang belajar menulis ini juga senang dengan hal-hal yang berhubungan dengan istri, keuangan, desain grafis, fotografi dan videografi.

Perjalanan Pulang yang Terlupakan

Di sudut kota kecil yang terletak di kaki gunung, dikelilingi hutan pinus dan danau biru yang tenang, hiduplah seorang pria bernama Damar. Setiap hari, ia menjalani kehidupan yang sederhana, namun penuh dengan rutinitas yang monoton. Ia bekerja di toko kelontong milik keluarganya, bertemu orang-orang yang sama, dan melakukan hal yang sama. Namun, ada satu tempat di kota itu yang selalu membuat Damar merasa lebih hidup: sebuah danau tersembunyi di pinggiran kota.

Danau itu bukan sekadar tempat rekreasi biasa. Bagi Damar, danau tersebut adalah pusat dari kenangan masa kecil yang penuh tawa dan kehangatan bersama ayahnya. Di sanalah, di tepi danau yang tenang, Damar kecil belajar memancing, berkemah, dan bermimpi tentang dunia yang lebih besar dari yang pernah ia lihat. Namun, seiring berjalannya waktu, kenangan indah itu perlahan berubah menjadi luka yang mendalam, membuat Damar enggan kembali ke tempat yang pernah ia cintai.

Masa Kecil Damar dan Kenangan di Tepi Danau

Damar adalah anak tunggal dari pasangan yang sederhana. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang selalu merawatnya dengan penuh cinta, sementara ayahnya adalah seorang pekerja pabrik yang sering menghabiskan waktu luangnya untuk memancing. Dari ayahnya, Damar belajar banyak hal, mulai dari cara memegang pancing dengan benar hingga memahami kesabaran yang dibutuhkan untuk menunggu ikan menggigit umpan. Bagi Damar, ayahnya bukan hanya seorang ayah, tapi juga pahlawan dan guru kehidupan.

Setiap akhir pekan, Damar dan ayahnya akan berjalan menuju danau di pinggiran kota. Di sanalah mereka berbagi cerita, merencanakan masa depan, dan sesekali berdebat tentang hal-hal kecil. Bagi Damar, suara tawa ayahnya dan angin yang berhembus lembut di tepi danau adalah kombinasi sempurna yang membuatnya merasa aman dan bahagia.

BACA JUGA  Kuliah Sekarang Atau Tidak Sama Sekali!

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Saat Damar berusia 25 tahun, ayahnya meninggal dunia karena serangan jantung mendadak. Kepergian ayahnya menghancurkan dunia Damar. Ia merasa tersesat tanpa bimbingan orang yang selalu menjadi panutannya. Sejak hari itu, Damar menghindari danau yang penuh kenangan itu. Baginya, setiap jejak di sana terlalu menyakitkan, mengingatkannya pada janji-janji yang tidak sempat ia tepati dan waktu yang tak bisa ia kembalikan.

Temuan Kotak Kenangan di Loteng Rumah

Sepuluh tahun telah berlalu sejak ayahnya pergi, dan Damar telah menjalani hidup dalam bayang-bayang rutinitas yang sepi. Hingga suatu hari, ketika ia sedang membersihkan loteng rumah ibunya, Damar menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu. Dengan hati berdebar, ia membuka kotak itu dan menemukan sebuah kompas tua. Kompas itu adalah milik ayahnya, benda yang dulu selalu dibawa kemana pun mereka pergi.

Di bawah kompas, terdapat secarik kertas lusuh dengan tulisan tangan ayahnya yang khas: “Anakku, jika suatu hari kau merasa tersesat, biarkan kompas ini membawamu pulang.” Damar terdiam membaca pesan itu. Kata-kata ayahnya seperti memanggilnya untuk kembali, tidak hanya ke tepi danau tetapi juga ke masa-masa ketika hidupnya penuh makna. Malam itu, Damar tak bisa tidur. Bayangan masa kecilnya terus berputar di kepalanya—wajah ayahnya yang tersenyum, suara air danau yang tenang, dan janji bahwa mereka akan selalu bersama.

Perjalanan Kembali ke Danau yang Terlupakan

Keesokan paginya, Damar merasa dorongan yang kuat untuk kembali ke tepi danau, tempat yang telah ia hindari selama bertahun-tahun. Ia membawa kompas tua itu bersamanya, seolah-olah benda itu adalah penunjuk jalan bagi hatinya yang tersesat. Perjalanan menuju danau terasa berbeda, seolah-olah setiap langkah membawa kembali kenangan yang selama ini ia coba lupakan.

BACA JUGA  Kehidupan Setelah Menikah

Saat tiba di tepi danau, Damar terdiam. Danau itu masih sama, tenang dan indah, namun terasa lebih sunyi tanpa kehadiran ayahnya. Pohon-pohon pinus yang dulu terlihat begitu besar kini tampak lebih kecil, dan suara burung yang berkicau membuatnya merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang merindukan pelukan ayahnya. Damar duduk di atas batu besar, tempat favoritnya dulu, dan memandang ke arah air yang memantulkan bayangan langit biru. Ia merasakan kehadiran ayahnya di sekitarnya, seolah-olah roh ayahnya belum pernah benar-benar pergi.

Damar mengeluarkan kompas dari sakunya dan melihat jarumnya bergetar, menunjukkan arah yang tidak berubah. Ia menyadari bahwa arah pulang yang dimaksud ayahnya bukanlah tentang fisik, tetapi tentang menemukan kembali hati yang telah tersesat. Duduk di sana, Damar membiarkan dirinya menangis untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun. Ia menangis bukan hanya karena kehilangan ayahnya, tetapi juga karena kehilangan dirinya sendiri.

Berdamai dengan Masa Lalu

Damar kemudian mengeluarkan sebatang kayu yang ia bawa dari rumah, kayu yang ia siapkan untuk diukir sebagai tanda bahwa ia pernah kembali. Ia memahat nama ayahnya di atas kayu itu dengan hati-hati. Setiap goresan terasa seperti proses penyembuhan, langkah demi langkah untuk menerima masa lalunya. Setelah selesai, ia meletakkan kayu itu di bawah pohon besar, sebagai penghormatan sederhana kepada kenangan yang telah membentuknya.

Waktu berlalu tanpa terasa. Damar duduk di sana hingga matahari mulai terbenam, menyelimuti danau dengan cahaya jingga yang hangat. Sebelum pergi, Damar mengucapkan terima kasih kepada ayahnya, bukan hanya untuk kenangan masa kecil, tetapi juga untuk pelajaran berharga yang ia pelajari dari kehilangan. Langkah-langkahnya saat pulang terasa lebih ringan, seolah-olah beban yang selama ini ia bawa telah terangkat.

BACA JUGA  Menjadi Seorang Ayah

Pelajaran Hidup dari Jejak yang Terlupakan

Dari perjalanannya, Damar belajar bahwa hidup bukan hanya tentang seberapa jauh kita melangkah, tetapi juga tentang seberapa berani kita untuk kembali ke tempat yang pernah kita tinggalkan. Danau itu bukan sekadar sebuah tempat, tetapi simbol dari keberanian untuk menghadapi luka dan berdamai dengan masa lalu. Setiap orang memiliki danau mereka sendiri, tempat yang penuh kenangan dan mungkin luka. Namun, kita semua juga memiliki kompas di dalam hati kita, yang akan selalu menunjukkan jalan pulang.

Damar menyadari bahwa hidup adalah tentang perjalanan bolak-balik antara masa lalu dan masa kini. Kadang-kadang, kita perlu menoleh ke belakang untuk memahami siapa kita, dari mana kita berasal, dan kemana kita ingin pergi. Kenangan di tepi danau itu adalah bagian dari Damar yang tak akan pernah hilang, tapi ia kini tahu bahwa kenangan itu bukan untuk ditangisi, melainkan untuk dihargai.

Kesimpulan: Berani Membuka Pintu yang Tertutup

Cerita Damar mengajarkan kita bahwa dalam hidup, kita akan selalu dihadapkan pada kenangan yang menyakitkan atau masa lalu yang belum selesai. Namun, itu bukan berarti kita harus terus lari. Kadang-kadang, yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk kembali, untuk menghadapinya, dan untuk menerima bahwa tidak apa-apa merasa terluka.

Kita semua memiliki jejak yang mungkin terlupakan, namun hanya dengan keberanian, kita bisa menemukan jalan pulang menuju diri kita yang sesungguhnya. Seperti Damar, kita harus berani membuka pintu yang telah lama tertutup, karena di balik setiap pintu, ada harapan yang menunggu untuk ditemukan.

 

Disclaimer:
Artikel ini dibuat menggunakan chatgpt.

Share

aliwahyudin

Seorang yang sedang belajar menulis ini juga senang dengan hal-hal yang berhubungan dengan keuangan, fotografi dan videografi. Seorang yang memiliki quotes andalan, yaitu "Di Indonesia yang paling pasti adalah ketidakpastian." yuk mutualan di instagram @aliwahyudin.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *